2017 tinggal 2 bulan lagi nih. Mumpung musim bikin rapor anak-anak udah mulai, ga ada salahnya ya kan kita bikin rapor diri sendiri di blog baru ini. Oh ya, selamat datang kalau begitu!
Saya sendiri sebenarnya bukan tipikal orang yang memasang target apa-apa dalam hidup. Doa saya sepanjang tahun sih sebenarnya sama: minta kesehatan jiwa-raga dan keberkahan dalam hidup. Namun, di awal 2017 ini, entah mengapa saya tiba-tiba memanjatkan doa yang kalau sekarang saya ingat-ingat lagi, kok harus begitu sih?
Pasalnya, doa yang saya ucapkan bukan doa untuk mendapat gaji puluhan juta, bukan doa untuk mendapat jodoh (terus kemudian nyesel, kenapa sih ga doa ini aja? Hehehe...), atau doa-doa mentereng lainnya. Sederhana, doa saya di awal tahun ini adalah: semoga saya bisa menemukan diri.
Sebab menurut pemikiran saya yang sok tahu ini, bagaimana mungkin kita bisa mendapatkan apa yang kita inginkan jika kita bahkan tidak tahu apa yang sebenarnya kita inginkan? Maka, jawabannya adalah dengan mencari tahu. Siapa saya, apa tujuan saya, apa yang bisa saya lakukan, apa yang saya inginkan, apa yang saya butuhkan, apa saja hal yang membuat saya gembira, dll, dll.
Warbiyasa, kan?
Setelah doa itu terucap, semesta seperti membantu saya untuk bertemu kejadian-kejadian ajaib yang membukakan mata.
Saya yang tadinya menjadi fasilitator teman-teman lucu di kelas 2 SD tiba-tiba ditempatkan di kelas 7 SMP dengan alasan untuk memunculkan potensi yang selama ini ada dalam diri saya. Menariknya, program pertama dan utama di kelas 7 adalah "Mengenal Diri". Oleh karena itu, sedari awal saya mengatakan kepada rekan-rekan di kelas bahwa saya ada di sana untuk belajar bersama mereka, bukan untum mengajari apa-apa. Bahwa mereka sedang berada di fase pencarian diri, saya pun begitu, namun dalam tingkatan yang berbeda. Melihat proses mereka berkembang, mengenali potensi, minat, dan hal yang perlu mereka perbaiki, sejujurnya saya malu. "Men, anak usia 13 tahun aja udah mulai mencari tahu dirinya, terus gue dari dulu ngapain aja?" batin saya. Dan pemirsa, menghadapi para remaja menurut saya tidak lebih mudah daripada menghadapi balita tantrum. Sering sekali saya berada pada momen-momen yang membuat saya mempertanyakan kapasitas saya sebagai seorang fasilitator, bahkan sebagai seorang manusia. Ini adalah benturan yang pertama.
Di tengah kegalauan itu, sahabat-sahabat saya — salah satu support system terpenting dalam hidup saya, you bayangin aja, kami itu udah satu tempat kerja, satu kosan pula, sudah tentu terlalu banyak kenangan manis yang kami lalui bersama — resign dan menikah. Saya mengalami dua keresahan sekaligus. Pertama, interaksi saya dengan mereka jadi berkurang karena sudah tidak satu lingkungan. Kedua, saya jadi kecil hati. Ketika dua sahabat saya nikah, saya merasa orang-orang mulai mengasihani saya — ngomong-ngomong, geng kami terdiri dari 3 orang, nama gengnya adalah 3 (Payu)Dara — Dan, FYI, sebagai orang yang gengsian dan sok kuat, dikasihani adalah sesuatu yang sangat tidak saya sukai. Padahal dalam lubuk hati terdalam, saya jadi merasa sangat kesepian. Ini adalah benturan kedua dan ketiga.
Semesta juga seolah memberi pesan melalui orang-orang yang ada di sekitar saya. Ada Nenek Caroline tersayang yang membisikkan pesan dari my guardian angel, dibacakan tarot oleh salah satu orang tua murid, sampai mengikuti kegiatan self-healing. Gimana dampaknya? Ceurik balilihan dong, ternyata! Meskipun penyampaian mereka berbeda, namun intinya tetap sama: bahwa saya saat ini sedang berada di titik nol, satu-satunya cara yang bisa saya lakukan adalah bangkit meskipun harus berdarah-darah dan berjuang sendirian.
Kalau saya sedang eling dan berefleksi, sebenarnya apa yang saya hadapi ini cetek banget jika dibandingkan dengan permasalahan yang dihadapi orang-orang di luar sana. Tapi entah mengapa rasanya kok ancur banget kayak rengginang keinjek. Inikah yang dinamakan quarter life crisis? 27 syndrome? (Meskipun aku baru 26 tahun sih)
Atau sebenarnya ini semua hanyalah momen-momen pembuka mata, yang menjawab doa saya. Mungkin saya harus mengenali seperti apa diri ini ketika berada di saat-saat terpuruk. Sebab seperti kata Bang Tan Malaka (akrab, ceritanya): terbentur, terbentur, terbentuk.
2017 tinggal 2 bulan lagi, semoga proses pengenalan diri ini bisa utuh dan segera mendapatkan jawabannya. Semoga bubuk rengginang ini bisa terkumpul dan memadat sehingga membentuk varian makanan yang baru dan lebih hits.
Terima kasih ya kamu yang sudah sudi membaca tulisan yang kurang berfaedah dan tak ada intinya ini. Tujuan saya menulis ini adalah berbagi, siapa tahu sekarang ini di antara kalian ada yabg sedang mengalami hal yang serupa dengan saya.
Supaya lebih bermakna, coba deh saya tanya: Jadi, resolusimu di tahun ini apa kabar?
Komentar
Posting Komentar